Cap batik yang usianya sudah puluhan tahun ini, bisa menjadikan heritage tersendiri, setidaknya merupakan barang langka keberadaannya. Foto : V1Q.
---------------------------------------------------------------
GUGAT86.com. SURAKARTA. Puluhan tahun silam atau sekitar tahun 1950-1970 setelah lima tahun kemudian negeri ini merdeka dari penjajahan, baik itu Jepang dan Belanda, mereka para saudagar batik mulai bermunculan. Ada Batik Pekalongan, Jogjakarta, Surakarta, Lasem Rembang bahkan Madura, serta daerah lain dengan ciri khas dan motif batiknya masing-masing. Baik warna maupun ornamen batik tulis ataupun capnya.
Sayangnya, saat ini kesemuanya telah pudar, tutup dan gulung tikar tergerus dengan seiring perkembangan jaman. Baik batik tulis tangan juga cap hilang keberadaannya tanpa bekas, kecuali peralatannya saja. Canting dan cap yang yang diukir dengan ornamen tembaga. Peralatan yang terbuat dari bahan kuningan, kenceng tembaga, semacam panci berukuran besar untuk membersihkan malam atau lilin usai proses pembatikan, sudah pindah di tangan kolektor. Memang, masih ada satu dua pengusaha batik tulis dan cap yang bisa ditemui di Pekalongan, Jogjakarta dan Solo. Mungkin juga daerah yang waktu itu merupakan sentra pengrajin batik.
Hanya saja, keberadaannya itu semua bisa dihitung dengan jari. Mereka membuat batik tulis dan cap, kalau ada pesanan belaka. Mereka sudah tidak sanggup lagi bersaing dengan pemilik modal besar, bila pembuatan batiknya saja cukup dengan cara printing atau sablon. Lebih murah serta merta tidak perlu menunggu lama. Lain dengan batik tulis dan cap, memakan waktu berbulan-bulan. " Mereka meninggalkan tradisi batik tulis yang memakan waktu lama dan mahal produksinya, sehingga beralih ke batik printing atau sablon. Murah dan puluhan ribu meter kain, tidak perlu waktu berbulan-bulan seperti proses batik tulis dan cap. Cukup waktu harian," urai Tauhid, pewaris batik tulis dari orangtuanya.
Usianya sudah lebih dari 60 tahun, begitu digosok untuk dibersihkan, ornamen ketegasan dari batik cap tempo dulu masih tampak elegan. Foto : V1Q.
---------------------------------------------------------------
Dikatakan Tauhid, yang saat ini masih meneruskan usaha batik milik orang tuanya di daerah Laweyan, Solo, sudah jarang sekali membuat batik tulis ataupun cap. Selain mahal biaya produksinya juga sudah mulai jarang pesanan. Kalaupun ada, terkadang baru urusan transaksi saja, kudu batal lantaran biaya produksi dengan harga permintaan konsumen tidak sepadan. Otomatis, sepi orderan. "Daripada mangkrak dan nantinya rusak lantaran kurang terawat, ada 500-600 cap batik ini mau saya jual,"promosi Tauhid.
Meski sudah terhitung termasuk barang antik dan heritage, lanjut Tauhid, tentunya memiliki nilai jual agak mahal. Setidaknya tidak ada patokan harga tertentu. Lantaran dirasakan mulai kurang berguna lagi di dalam usaha batik printing atau sablon nya, ratusan cap batiknya akan dijual saja. "Sumonggo bagi yang berminat untuk membeli bisa hubungi langsung ke redaksi GUGAT86.com atau telepon ke 081325995968. Harga sangat terjangkau jika dibandingkan ke Pasar Antik Triwindu, Solo." pungkas Tauhid, kembali berpromosi. # V1Q/ Yan 1.
Berbagai jenis dan pamor batik cap, setidaknya ada 500-600 biji yang siap dikoleksi bagi kolektor. Atau hiasan bagian dari dinding rumah mewah. Foto : V1Q.
--------0000000--------
Thanks for reading Cap Batik Tradisional Menunggu Pembeli Atau Kolektor | Tags: Budaya Sosial
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »