GUGAT news.com. JAKARTA. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni, tetapi lebih sebagai praktik sosial. Dalam perspektif sosial, film berinteraksi secara dinamis dan kompleks. Film juga melibatkan berbagai elemen pendukung, dari sejak gagasan, proses produksi, distribusi, hingga eksibisinya.
Demikian antara lain pandangan yang disampaikan sutradara legendaris, Dedi Setiadi saat bincang kreatif dengan para sineas, terkait dengan rencananya memberi pendidikan khusus bagi profesi aktor di tubuh organisasi Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PB PARFI), di Jakarta, Jum’at (19/03/2021).
Dalam perspektif komunikasi massa, kata Dedi Setiadi, film dapat dimaknai sebagai representasi pesan yang disampaikan untuk khalayak.
“Sebagai _cultural studies_ bagaimana realitas sosial dikonstruksi dan digambarkan dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Film dimaknai sebagai satu warisan budaya antar generasi, dan berfungsi sebagai transmisi budaya pada masyarakat,” ujar sutradara sinetron ‘Keluarga Cemara’ sebagai karya sinema yang cukup melegenda ini.
Sutradara yang pernah melabungkan nama besar artis Desy Ratnasari dan Dede Yusuf, lewat sinteron serial ‘Jendela Rumah Kita’ ini, berharap PB PARFI jangan menjadi organisasi “papan nama.” Apalagi bak pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya.”
“Harus konstruktif dan produktif. Sebagai organisasi profesi, PARFI juga harus menjadi organisasi kader. Melindungi anggota dan masyarakatnya (publik). Memberikan sertifikasi profesional. Melatih dan mempersiapkan kadernya dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga memiliki kompetensi pada bidangnya,” ujar sineas yang pernah mengenyam Pendidikan Bidang Penyutradaraan - Advanced Program Director (1982), Asia Pacific Institute for Broadcasting Development (AIBD) bidang TV Sport, TV Commercial, Kuis, Talk Show dan Pendidikan, di Kuala Lumpur - Malaysia (1983) ini.
Tetap konsekuen dengan sosial distancing dan physical distancing.
PB PARFI, terang Dedi Setiadi, akan menyelenggarakan pendidikan khusus profesi aktor secara kolektif, dengan melibatkan unsur kepengurusan daerah. “Teman-teman di daerah semua akan kita libatkan sebagai pelaksana tugas di daerah dalam penyelenggaraan pendidikan khusus profesi aktor ini,” ujarnya.
Mementingkan Rasa Mencerdaskan Bangsa
Film, kata Dedi, merupakan kemasan cerita yang memiliki tujuan. Memberi tontonan, tatanan, dan tuntunan berdasarkan realitas. Film lebih mementingkan rasa dan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Melalui pendidikan khusus profesi aktor inilah nanti seluruh potensi keanggotaan kita gali. Mengantarkan mereka menjadi aktor-aktris profesional, kreatif, dan produktif. Membuat karya-karya film tak sekedar tontonan, tapi ada muatan edukatif,” ujar sutradara yang menjabat sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Profesi PB PARFI Periode 2020 - 2025 dibawah pimpinan Ketua Umum Alicia Djohar, dan Sekretaris Jenderal Gusti Randa ini.
Selain kafasitasnya sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Profesi PB PARFI, Dedi Setiadi juga tengah menyiapkan lebih dari tujuh judul film layar lebar yang akan diproduksi.
Dua judul diantaranya adalah, ‘Petualangan Orang Badui (Si Jaun),’ produksi Talentum Picture bekerjasama dan Nusa Indah Perkasa Film. Kemudian film ’Arif dan Halimah’ mengusung budaya Melayu Riau, diproduksi oleh komunitas budaya melayu dan rumah produksi lokal Pekanbaru Riau.
“Anggota PARFI yang telah mengikuti pendidikan khusus profesi aktor dengan hasil baik, akan kita libatkan di semua film produksi saya. Ini jaminan dari saya dan tidak ada embel-embel apa-apa. Kita profesional,” ujar Dedi antusias.
Selain menyelenggarakan pendidikan khusus profesi aktor, Bidang Pendidikan dan Pelatihan Profesi PB PARFI, terang Dedi Setiadi, juga akan menggelar ‘Festival Film’ dengan tagline ‘Aku Cinta Indonesia’ (ACI).
Ajang apresiasi ini, kata Dedi, diinisasi dari keunggulan film serial ‘Aku Cinta Indonesia’ (ACI) produksi Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM), dan disutradarai Dedi Setadi.
“Bertemakan pengembangan nilai-nilai kepribadian anak dan remaja. Mengajarkan tanggung jawab. Siap bekerjasama, dedikatif, disiplin, kerja keras, sportifitas, toleran, bersaing sehat, persahabatan, saling menghargai dan menghormati,” ujar sutradara yang pernah menjadi pengajar pada Asia Pasific Institute for Broadcasting Development , Colombo - Srilanka, selama tiga tahun keliling Asia Pasifik ini.
Saat ini pelaku industri perfilman dan Pemerintah secara sadar bersama-sama menganggap film harus dipandang sebagai sebuah produk industri kebudayaan. Bukan lagi semata sebagai produk seni dan media komunikasi pandang dengar (UU Nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman).
Keinginan ini tentu harus disikapi oleh pekerja film. Pekerja film, kata Dedi, harus meningkatkan profesionalismenya. Salah satunya melalui pendidikan berbasis seni.
Buka di jalan H Agus Salim, Sondakan, Laweyan, Solo. 57147.
”Film tidak hanya dimengerti oleh orang film saja. Dia harus terbuka terhadap dunia luar. Terhadap pihak yang berminat terjun ke industri ini. Semua hal mesti transparan. Sistem kerjanya, proses kerja, standar profesi, standar honor, lisensi profesi dan seterusnya,” ujar Dedi.
Dedi menginginkan industri film maju. Pihaknya ingin para user nyaman memakai jasa orang film. Saling memahami hak dan kewajiban. Mereka (produser) bisa mempertanyakan kinerja mitra kreatifnya.
”Tahapan produksi dan prosedur kerja menjadi jelas bagi semua pihak. Dengan adanya standarisasi profesi dan standarisasi teknis produksi film dan televisi, membuat pekerja dan user saling tahu hak dan kewajiban masing-masing secara profesional,” lanjut Dedi.
Budaya Organisasi yang Kuat
Dedi berharap di tubuh PB PARFI muncul kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan harus menjadi energi menciptakan kehidupan organisasi yang terkoordinasi dalam tata kelola yang etis, serta mendapat respon positif dari integritas pribadi setiap individu.
“Kepemimpinan yang kuat bersumber dari budaya organisasi yang kuat. Yaitu kepemimpinan yang mampu menyebabkan kesatuan tindakan dan bergerak ke arah yang tepat,” ujarnya.
Momentum masa kepengurusan PB PARFI Periode 2020 – 2025 hasil Kongres PB PARFI Ke-XVI di Jakarta, menurut Dedi, harus menjadi energi pendorong untuk terciptanya budaya kolaborasi. Menjaga kewibawaan organisasi. Menjaga soliditas antar pengurus dan anggota. Menyatukan semua kepentingan ke dalam visi organisasi.
“Belajar dari sejarah dengan berbagai kegagalan yang sempat menerpa organisasi insan film, kita harus bisa menjadi fasilitator pencapaian kinerja. Sekarang PARFI harus lebih produktif dalam rangka peningkatan kompetensi dan ekonomi anggotanya,” harap Dedi Setiadi menutup/*** Eddie Karsito.
°°°°°°° 081325995968 °°°°°°°°
Thanks for reading Dedi Setiadi :PARFI Jangan Jadi Organisasi 'Papan Nama' dan 'Tong Kosong Nyaring Bunyinya' | Tags: Budaya
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »