Ki Jliteng Suparman
Pelaku pariwisata menjerit, UMKM menjerit, usaha 'event' menjerit, pekerja seni menjerit, semua menjerit kecuali orang punya gaji dan pihak yang memperoleh nilai ekonomis pandemi.
Menjerit dan cemas. Karena tidak ada jaminan kepastian dari kebijakan PPKM yang berjudul-judul akan selesai sampai jilid berapa. Yang tak kalah bikin cemas yakni tidak adanya jaminan perlindungan bagi perut rakyat yang makin melilit.
Petarung bilang: "lu jual gua beli". Melawan pandemi ini kuat kesan pemerintah 'ingah-ingih', enggan memborong, lebih memilih beli eceran pun dengan harga grosir.
Sesungguhnya semua sudah mengerucut pada satu titik keyakinan bahwa hanya dengan memborong 'lockdown' maka pandemi akan benar-benar dapat dikendalikan. Dengan "Karantina Kesehatan" niscaya kebersatuan dan kebersamaan pemerintah dan rakyat benar-benar terwujud.
Kiranya masyarakat akan mendukung seratus persen kebijakan pemerintah menangani pandemi, ketika 'basic need'-nya terpenuhi sebagai syarat utama membatasi mobilitas. Efek konstruktif lain, imunitas pun meninggi oleh ketenangan psikologis sehingga tidak gampang terpapar corona.
Bukankah mestinya begitu cara memutus rantai penyebaran virus Covid-19 paling efektif? Tapi mengapa pemerintah sedemikian enggan memborong, lebih memilih beli eceran pun harga grosir?
WASPADA Corona masih ada
Alasannya klasik, terkendala kemampuan anggaran atau dana. Tapi para ahli ekonomi mayoritas mengatakan bahwa pemerintah punya cukup uang untuk membiayai lockdown, utamanya bila mau menunda atau menghentikan ambisi pembangunan infrastruktur maupun mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih berorientasi ke kapital besar.
Namun sayang sikap pemerintah justru berkebalikan. Untuk anggaran infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi (kapital besar) tampak 'nyah-nyoh', tapi untuk penanganan pandemi utamanya perlindungan kebutuhan dasar rakyat sedemikian pelit.
Kebijakan pemerintah apa pun bentuknya niscaya sulit mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Sekali lagi bukan perihal mau atau tidak mau mendukung. Rakyat di mana pun sama. Bukan rakyat Indonesia sulit diatur. Tetapi syarat-syarat untuk dapat mendukung kebijakan tidak terpenuhi.
Tak perlu ahli ekonomi. Logika hitungan sederhana pun mampu menyimpulkan. PPKM eceran sekali-dua kali bisa dibilang irit. Sejak PSBB hingga PPKM banyak judul itu bentuk ngecer yang ketika dihitung menjadi teramat sangat boros. Bukan hanya boros uang tapi juga "boros derita" karena tidak efektif, tidak menyelesaikan.
MakanKu Makanan Sehat Siap Saji
Kondisi seperti ini mau sampai kapan?
Tolong, deh. Ambisi infrastruktur, layanan kapitalis, syahwat politik kekuasaan semua ngalah sebentar. Bikin konsep berdasar scient, siapkan skenario akurat, siapkan anggaran, dalam dua pekan hingga satu bulan Corona Delta dan teman-temannya akan bertekuk lutut.
Bukan 'ndhisiki kersaning Allah'. Ketika pemerintah terus bersikap 'pokoke' di sisi lain perut masyarakat juga 'pokoke', maka akan terjadi benturan antar 'pokoke' yang berujung ambyar. Semoga tak pernah terjadi.
Bisa pesan ke Ibu Gina Marlia 082136563959
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Thanks for reading PPKM Eceran Boros Uang Boros Derita | Tags: Budaya
« Prev Post
Next Post »