Kepala Kalurahan Laweyan Marsono, Bertanya Apa itu Selawenan. Foto : Yani.
GUGAT news.com. SOLO.
Sore itu, Sabtu (25/9/2021) suasana Essensi Kopi yang ada di Kampung Batik Laweyan, tidak seperti biasanya. Biasa ramai dengan canda gelak tawa riang anak anak remaja, saat itu sepertinya tidak ada yang berusia remaja. Bahkan usia pemuda, sepertinya tiada yang tampak. Kalau untuk tokoh pemudanya, ada lebih dari 3-4 orang. Yang pasti, hampir kesemuanya yang hadir kaum bapak maupun ibu. Padahal, acara yang digelar saat itu, Selawenan bukan hanya untuk kalangan tertentu melainkan untuk semua warga Kampung Batik Laweyan. "Kalau semua bisa hadir, bisa ratusan yang datang. Mungkin masih dalam suasana Pandemi Covid-19,"terang Bang Iwan, salah satu tokoh pemuda Kampung Batik Laweyan.
Tokoh pemuda lainnya, Mas Gunawan Nizar membedah makna Selawenan dari berbagai versi.
Bukan hanya itu saja, ditambahkan Mas Iwan PERSIS, boleh jadi kegiatan Selawenan ini tidak lebih dari 25 yang hadir, yang menjadikan masalahnya jika sore ini merupakan kali pertama Selawenan digelar dari selama adanya wabah merebak virus Corona atau Pandemi Covid-19 yang saat itu dilarang mengadakan acara yang sifatnya membuat kerumunan. Hampir dya tahun, Selawenan vakum, kosong dari kegiatan. Baru kali inilah begitu PPKM dilonggarkan, Selawenan dibuka kembali sekaligus guna evaluasi 17 tahun menggeliatnya Kampung Batik Laweyan, yaitu dimulai sekitar tahun 2004.
Sigit tengah memaparkan cerita lucunya saat muda di Laweyan.
Lurah Marsono pun mafhum manakala mendengarkan langsung dari apa yang telah dipaparkan Gunawan Nizar, owner Esensi Kopi Laweyan tentang apa itu makna kegiatan Selawenan. Yang pasti, masalah kegiatan Selawenan ini dahulunya sudah banyak dibedah dari mereka para budayawan Solo. Bahkan dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari pandangan budaya saja, melainkan ada yang membahas dari sisi spiritual. Unik, itulah Selawenan. " Jelasnya, Selawenan ini sebenarnya merupakan forum rembug bagi semua warga Kampung Batik Laweyan, demi gemah Ripah loh jinawi Toto tenteram kerta Raharja ijo royo-royo dan subur makmur nya Laweyan,"papar Gunawan tersenyum.
Makanku Makanan Sehat Siap Saji Masa Kini Solusi Di Saat Pandemi Covid-19
Suasana Selawenan sore itu pun mengalir, beragam opininya tentang Kampung Tertua di Soloraya itu, lantaran bersamaan dengan berdirinya Keraton Kasultanan Pajang, Solo, 500 tahun lalu, kampung Laweyan sudah ada. Bahkan jauh lebih tua dari pada keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1745). Menariknya, beragam opini di ungkapkan dari beberapa warga Kampung Batik Laweyan, ada yang serius menyampaikannya namun tidak sedikit yang bertutur sambil tertawa. Bahkan termasuk Lurah Marsono yang belum lama menjabat sebagai kepala Kalurahan Laweyan. " Laweyan itu unik, ada gang kok dinamakan gang cinta. Eee...gak tahunya jalanan gang di kampung Laweyan ini ada lebarnya tak lebih dari 1 meter. Sehingga kalau papasan motor harus ada yang mengalah. Mundur dulu...!"urai Lurah Marsono.
Lain halnya dengan Sigit, seniman foto khusus Kampung Batik Laweyan ini, mengaku di saat mudanya memiliki kebiasaan yang cukup unik. Dengan Mas Gunawan serta rekan muda lainnya, saat itu lebih menyukai mengintip dari jendela jendela juragan batik, yang saat itu ibu ibu muda pembatik tengah bercengkerama "yang yang an" alias berpacaran dengan Mas mas yang tukang ngecap, membuat batik dengan cara dicap. Puas dari jendela satu, berpindah ke jendela lainnya. Maksud dan tujuan tetap sama. "Nginjen" alias mengintip dari kegiatan ibu ibu muda pembatik. Akan halnya mereka ibu ibu muda pembatik dan mas tukang cap, ya hanya bisa diam saja tiada kuasa memarahinya. Pasalnya, ada putranya sang juragan.
Lain halnya dengan Pak Handiman dan Pakde Tri Warso, sedikit agak serius saat menuturkan kesan dan pesan tentang Kampung Laweyan. Pak Handiman lebih suka mengaku bukan orang asli Laweyan, meski lahir, besar dan berkeluarga di Kampung Batik Laweyan. Pasalnya, saat mudanya ia merasa tidak sepantasnya jika kudu mengaku Wong Laweyan dengan kondisi rambut gondrong laiknya preman saat itu, padahal Wong Laweyan, ramah, halus tutur katanya dan sopan. " Tapi adakalanya saya Yo mengaku Wong Laweyan dan kaget saat ditanya wong Laweyan itu kaya semua, rumahnya seperti keraton. Ya saya jawab, kalau seperti keraton tidak, cuma di Laweyan saat itu rumahnya berdinding tembok semua. Tidak ada yang gedek atau bilah bambu," jelasnya.
Sedangkan Pakde Tri Warsa, banyak menceritakan tentang sejarahnya ada tugu titik nol yang ada di perempatan kampung kidul pasar. Semula, ratusan tahun lalu seiring adanya Kampung Laweyan, belum ada tugu asli batu hitam Muntilan yang kini dikenal dengan titik nol Laweyan. Batu hitam asli bukan dari dibuat dengan semen, melainkan batu asli dari Gunung Merapi. Hanya saja, sayangnya saat itu dibeli utuh berupa bongkahan, tidak dipotong potong yang dimaksudkan agar mudah pemasangannya serta membersihkannya bisa secara knokdown, dilepas satu persatu. " Itu gagasan dan ide dari saya dan Mas Jono, masalah tugu. Juga logo forum kampung Batik Laweyan,"pungkas Pakde Tri Warsa. # Achmad Yani.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Thanks for reading Warga Kampung Batik Laweyan Gelar Selawenan | Tags: Budaya
« Prev Post
Next Post »