Ki Jlitheng Suparman
GUGAT news.com
ISTANA DAN SINGGASANA SIMBOL KUASA DAN WIBAWA RAJA
Oleh: Jlitheng Suparman
Keraton-keraton atau kerajaan-kerajaan Nusantara di Indonesia sudah tidak lagi memiliki otoritas politik sejak berdirinya NKRI. Keberadaannya sebatas sebagai institusi kebudayaan dengan status cagar budaya.
Raja bukan lagi pemimpin politik pemerintahan tetapi sebatas pemimpin sosial-budaya di lingkungan situs karaton-nya dan tempat-tempat tertentu maupun komunitas masyarakat tertentu terkait.
Kori Brojonolo Lor Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Keberadaan keraton-keraton Nusantara Indonesia bagi kalangan masyarakat umum kekinian bisa jadi diletakkan sebatas peninggalan sejarah untuk tujuan wisata. Namun bagi komunitas dinasti terkait maupun komunitas masyarakat pendukung, keberadaan keraton masih disakralkan dan dihormati sebagaimana keberadaannya sebagai kerajaan di masa lalu. Raja tetaplah pemimpin tertinggi mereka yang mesti dijaga kewibawaannya dan dipatuhi segala titahnya.
Pura Mangkunegaran Surakarta
Itulah mengapa hingga saat ini masih sering terjadi kasus perebutan tahta walaupun keraton sudah bukan lagi sebagai pusat politik pemerintahan. Sebagaimana terjadi perebutan tahta di Keraton Surakarta pasca meninggalnya Paku Buwono XII, konon juga terjadi di Keraton Cirebon, bahkan sampai saat ini santer isu berlangsung perang dingin di lingkaran keluarga dinasti Keraton Yogyakarta, juga terjadi di kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa.
Telah disinggung di atas, bagi komunitas dinasti dan masyarakat pendukung, keraton tetap disikapi sebagai pusat kepemimpinan dan raja sebagai pemimpin mereka. Simbol-simbol kebiwaan keraton dan raja akan dijaga sedemikian rupa.
Makanku Makanan Sehat Siap Saji Masa Kini
Istana merupakan simbol tertinggi dari otoritas atau kebiwaan raja. Lebih spesifik lagi simbol tertinggi tersebut berupa singgasana. Sebuah artefak berupa kursi atau tempat duduk khusus bagi raja.
Singgasana yang secara fisik hanya berwujud kursi namun sangat disakralkan, tak boleh siapa pun duduk di atasnya. Hal itu kembali mengingat makna singgasana sebagai simbol tertinggi kuasa dan wibawa raja.
Terkait singgasana dan kesakralannya, terdapat sejumlah kisah mitos atau legenda tentang orang yang tidak berhak atau tidak direstui menjadi raja tidak kuat duduk di atas singgasana. Maka konon juga menjadi syarat menguji kandidat raja guna terpilih ketika jumlahnya lebih dari satu orang. Siapa yang kuat bertahan duduk di atas singgasana dialah yang berhak menjadi raja.
Kali Pepe Land Destinasi Wisata di Desa Banaran Gagaksipat Ngemplak Boyolali
Data otentik tentang pengujian kandidat raja dengan duduk di atas singgasana tersebut kapan pernah terjadi memang sulit ditemukan. Namun kisah pewayangan sebagai potret kehidupan era kerajaan dapat diletakkan sebagai kesaksian atas kebenaran berlangsungnya peristiwa tersebut.
Istana dan singgasana merupakan _‘loro-loroning atunggal’_ satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Istana sebagai ruang di mana singgasana berada. Istana tanpa singgasana bukanlah istana. Sebaliknya singgasana tanpa istana bukanlah singgasana.
Maka dalam banyak kisah perebutan kekuasaan akan disebut berhasil merebut kekuasaan ketika menguasai istana dan duduk di atas singgasana. Ketika berhasil menguasai istana secara ruang namun belum duduk di atas singgasana maka belum bisa dikatakan berhasil menguasai tahta atau kerajaan.
Singgasana berupa artefak tempat duduk atau kursi secara fisik memang tidak selalu berada di ruang istana. Ketika tidak ada kegiatan resmi kenegaraan kerajaan yang berlangsung di istana, maka singgasana secara fisik akan disimpan di ruang khusus demi keamanan.
Ketika secara teknis singgasa tidak berada di ruang istana bukan berarti istana kehilangan makna eksistensinya sehingga dapat diperlakukan sebagaimana ruang lain kebanyakan. Tidak bisa mentang-mentang singgasana secara fisik disimpan di tempat lain lantas istana dianggap sebagai ruang kosong yang bisa diperlakukan seenaknya untuk berbagai kegiatan atau kepentingan lain.
Ketika oleh faktor teknis maka singgasana tidak berada di tempatnya dalam ruang istana guna disimpan demi keamanan, istana tetaplah istana. Orang atau pihak siapa pun yang melakukan tindakan atau kegiatan memanfaatkan ruang istana tidak sebagaimana peruntukannya dan normanya, dalam istilah umum orang Jawa disebutnya _“jag-jagan”_ (bertindak liar melanggar norma etika atau tata susila). Tindakan yang bermakna merendahkan, meremehkan, melecehkan kehormatan dan wibawa raja sebagai penguasa kerajaan.
Merendahkan atau melecehkan wibawa raja di masa lalu sama artinya meremehkan kehormatan kerajaan beserta suluruh isinya. Bukan hanya raja yang direndahkan, melainkan siapa pun dan apa pun yang menjadi bagian dari kerajaan itu turut serta diremehkan. Maka jaman dulu kalau ada orang berani _“jag-jagan”_ di istana akan berat hukumannya. Bukan hanya raja yang marah, namun juga ponggawa, prajurit hingga kawula atau rakyat warga kerajaan akan turut murka.
Jika ada raja yang bahkan secara sengaja mengijinkan orang _“jag-jagan”_ di istana, maka raja itu sudah melecehkan eksistensi kehormatan dirinya sendiri. Atau mungkin karena Raja itu tidak mampu mengelak dari tekanan sehingga terpaksa merelakan terinjak kehormatannya?
Nah. Sedikit ulasan di atas untuk melengkapi tulisan saya sebelumnya yang berjudul *“Pura Mangkunegaran, Istana Bukan Untuk Nikahan”*. Semoga menambah keterangan.
Oh, iya. Dengan tulisan ini dan sebelumnya, tiada niat untuk melebih-lebihkan. Namun lebih terdorong keprihatinan. Kerajaan dan komunitas kawulanya pemilik sah tanah-air ini sudah merelakan otoritas politiknya demi NKRI, rela sebatas mengelola romantisme histori-kulturalnya dan nilai-nilai keyakinannya di ruang terbatas, mbok ya jangan diganggu direcoki oleh arogansi-arogansi kekinian. Apakah masih kurang luas ruang kiprah manusia kekinian untuk mengekspresikan hasrat dan ambisinya? Atau memang karena sudah sedemikian serakahnya?
Bicara menghormati dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa hanyalah omong kosong ketika tidak punya hayatan atas ruang kebatinan budaya bangsa masa lalu.
Salam.
Thanks for reading Istana Dan Singgasana Simbol Kuasa Dan Wibawa Raja | Tags: Budaya Sosial
« Prev Post
Next Post »