Jlitheng Suparman
PURA MANGKUNEGARAN, ISTANA BUKAN UNTUK NIKAHAN
_Jlitheng Suparman_
Sangat disesalkan jika Joko Widodo akan benar-benar menyelenggarakan ngunduh mantu di Pura Mangkunegaran. Lebih disesalkan lagi ketika Mangkunegoro (MN) X yang bernama asli Bhre Cakrahutomo, sedemikian dengan mudah mengijinkan Pendhapa Ageng Mangkunegaran dipakai untuk ngundhuh mantu Kaesang.
Jokowi yang kebetulan menjabat sebagai Presiden RI, dan Bhre Cakrahutomo yang kebetulah menjabat sebagai MN X, kedua-duanya kita harap jangan sampai miskin wawasan sejarah dan norma etika.
Pura Mangkunegaran Surakarta
Pura atau Kadipaten Mangkunegaran bukanlah kadipaten _“manca negari”_, kadipaten kecil yang berada di bawah kekuasaan otoritas kerajaan yang lebih besar. Pura Mangkunegaran statusnya juga kerajaan setara dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.
Lahan dan struktur bangunan situs Pura Mangkunegaran memang tidak seluas dan sebesar Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Namun otoritas politik Mangkunegaran di kala itu boleh dikata sejajar dengan dua kerajaan yang disebutkan belakangan. Bahkan di masa awal-awal keberadaannya Mangkunegoro I sangat ditakuti oleh Pakubuwono III dan Hamengku Buwono I, juga VOC.
Kali Pepe Land Destinasi Wisata di Desa Banaran Gagaksipat Ngemplak Boyolali
Intinya, Pura Mangkunegaran secara kesejarahan merupakan sebuah kerajaan. Pendhapa Ageng Mangkunegaran statusnya sama dengan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka Keraton Surakarta maupun Yogyakarta, yakni sebagai istana.
Sama dengan Istana Merdeka di Indonesia sekarang. Istana itu bukan tempat tinggal maupun milik pribadi. Istana merupakan kantor, tempat kerja, ruang kerja resmi Raja ataupun Presiden. Statusnya sebagai asset negara bukan hak milik privat.
Makanku Makanan Sehat Siap Saji Masa Kini
Sesuai statusnya sebagai istana, sudah tentu pemanfaatannya hanya untuk kegiatan resmi kenegaraan. Kegiatan-kegiatan pribadi tidak bisa diselenggarakan di situ. Sejauh pengetahuan belum pernah terjadi Istana dipakai untuk resepsi mantenan. Kalau pun memang pernah terjadi berarti pemegang otoritas bersangkutan tak mengerti atau sengaja menyalahgunakan otoritasnya.
Pura Mangkunegaran, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan keraton-keraton setara lainnya di Indonesia memang sekarang sudah tidak lagi memiliki otoritas politik. Keberadaannya sebatas institusi (cagar) budaya. Sebagai sebuah cagar budaya terdapat nilai-nilai yang mesti dijaga agar eksistensinya sebagai representasi jejak peradaban tetap lengkap.
Unsur-unsur kesakralan dan kewibawaan sebagai sebuah kerajaan harus dilestarikan. Itulah mengapa sampai saat ini, seperti misal Sasana Sewaka Keraton Surakarta sama sekali tidak digunakan untuk kegiatan lain selain seremoni adat-tradisi resmi kerajaan.
Dari uraian di atas maka rencana Jokowi ngundhuh mantu di Pura Mangkunegaran layak disesalkan. Pertama, hajat pernikahan merupakan urusan ranah pribadi. Dari itu ngundhuh mantu tidak selayaknya di selenggaran di Pendhapa Ageng Mangkunegaran yang statusnya secara historis-kultural merupakan istana kerajaan.
Kedua. Dalam konteks Republik Indonesia, Jokowi memang berkedudukan atau menjabat sebagai Presiden. Namun dalam kontek sosio-historis-kultural terkait dengan eksistensi Pura Mangkunegaran, Jokowi selaku pribadi statusnya adalah sebagai kawula atau rakyat biasa. Yang bestatus Raja atau Adipati saja tidak boleh seenaknya menggunakan fasilitas Pendhapa Ageng untuk urusan pribadi, apa lagi orang yang berkedudukan sebagai rakyat biasa.
Ketiga, jika perhelatan ngundhuh mantu tetap dilaksanakan, kita masyarakat dan bangsa Indonesia sungguh semakin kehilangan keteladanan dalam hal menjaga dan menjalani norma-etika dalam berperikehidupan di segala bidang. Jokowi sebagai seorang Presiden dan Bhre Cakrahutomo sebagai seorang Adipati mestinya dapat memberi keteladanan tentang implementasi nilai-nilai norma-etika.
Keempat, kenekatan penyelenggaran ngundhuh mantu di Pura Mangkunegaran hanya akan mempertontonkan perilaku arogansi penguasa. Dumeh Presiden, dumeh Mangkunegoro, lantas dapat berbuat seenaknya tanpa peduli norma etika. Tindakan tersebut juga dapat dikategorikan pelecehan budaya. Bagaimana pun Pura Mangkunegaran sebagai sebuah representasi jejak peradaban berstatus Kerajaan keberadaannya beserta struktur nilai yang terdapat di dalamnya, tetap harus dihormati.
Presiden Joko Widodo maupun KGPAA Mangkunegoro X sebagai bagian dari _wong Jawa_ yang katanya berkepribadian adi luhung, jangan sampai mempertegas sinyalemen _“wong Jawa ilang jawane”_.
Semoga.
Sukoharjo, 21 Nopember 2022
Thanks for reading Pura Mangkunegaran, Istana Bukan Untuk Nikahan | Tags: Budaya
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »